Cara Selesaikan Sengketa Pilkada Serentak Tahun 2024, Catat!
Font Terkecil
Font Terbesar
WARTAKUNINGAN.COM - Gerakan tim Kuasa Hukum pasangan calon nomor urut 02 HM. Ridho Suganda-Kamdan atau biasa disebut dengan Ridhokan, mengejar terus tindak lanjut Bawaslu Kuningan agar laporan dugaan kecurangan jumlah 30 ribu lebih surat suara yang tidak sah, ditanggapi oleh Pemerhati Hukum, sekaligus Advokat Independent Kuningan, Hamid S.H.
Hamid menegaskan, bahwa Gubernur, Bupati, Walikota sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis sesuai dengan Pasal 18 Ayat 4 UUD Negara RI Tahun 1945. Bahwa atas Pasal tersebut lahirlah UU bidang politik. Yaitu UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.
"Selanjutnya, disebut pemilihan. Yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara langsung dan demokratis. Ini sesuai dengan Pasal 1 Butir UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 2025," terang Hamid, pada Rabu (04/11/2024), kepada WartaKuningan.com.
Jika terdapat permasalahan hukum, seperti pelanggaran kode etik pemilihan adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman pada sumpah atau janji sebelum menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilihan. Penyelenggara kode etik penyelenggara pemilihan diselesaikan oleh DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan.
Misalnya, ada juga pelanggaran administrasi. Yaitu pelanggaran terhadap tata cara administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan. Penyelenggara administrasi, penyelesaiannya dilakukan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatan.
Kemudian ada juga misalnya pelanggaran sengketa pemilihan. Seperti sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antara peserta pemilihan dengan pihak penyelenggara pemilihan.
"Yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan, adalah Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota," sebut Hamid.
Terkait adanya tindak pidana pemilihan merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan yang penyelesaiannya dilakukan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau Gakumdu. Yang unsurnya, adalah Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Kepolisian, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Penyidik Kepolisian RI menjalankan tugas melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti. Dari hasil penyelidikan, disertai dengan berkas-berkas kejadian perkara kepada penuntut umum yang kemudian oleh penuntut umum dilimpahkan ke pengadilan.
Sengketa Tata Usaha Negara pemilihan sendiri, adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilihan, seperti dalam perkara antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota melawan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
"Penyelesaian sengketa tata usaha negara, pemohon atau pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan dilakukan setelah seluruh upaya administrasi di Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota," kata dia.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan ke 3 atas Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang MK, selain MK bertugas memeriksa dan mengadili menguji Undang-Undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 atau Judicial Review, MK juga bisa memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutuskan perselisihan tentang hasil dari pemilihan umum, memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Misalnya, presiden atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum.
"MK berdasarkan ketentuan Pasal 157 Ayat 3 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil dari pemilihan gubernur, bupati, dan walikota," imbuh Hamid.
Hamid juga menegaskan, bahwa dalam prakteknya pemohon yang merasa keberatan, harus mengajukan keberatan kepada MK terhadap permohonan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan terhadap calon terpilih dalam masa tenggang waktu paling lambat 3 hari kerja. Terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan hasil pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Ia menyebut, permohonan di dalam dasar atau alasan keberatan sering sekali terjadi mempersoalkan kecurangan-kecurangan. Diantaranya, peserta pemilihan mempersoalkan "Money Politics" oleh para penyelenggara pelaksana kampanye, tim kampanye. Padahal yang benar menurut hukum MK berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus PHP atau Perselisihan Hasil Pemilihan.
"Dimana, atas dasar pengajuan permohonan keberatan atau calon tidak terpilih mempersoalkan bukan hasil dari perselisihan pemilihan, maka putusan MK atas permohonan itu tidak dapat diterima. atau Niet Ontvankelijke Verklaard. Alasannya, MK berwenang untuk memeriksa dan mengadili serta memutus perselisihan hasil pemilihan permohonan harus dapat membuktikan sesuai Pasal 163 HIR di dalam persidangan MK," kata Hamid.
Tentu pembuktian dalam pelaksanaan pemilihan, telah terjadi adanya perselisihan hasil pemilihan atau selisih suara. "Jika permohonan tidak dapat membuktikan adanya perselisihan pemilihan, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara atau menjatuhkan putusan permohonan pemohon keberatan akan ditolak," ucap Exs Komisioner KPU Bidang Hukum itu.